Ketika masuk ke dalam kompleks anjungan, pengunjung disambut gapura bercorak khas Melayu, merupakan replika Gapura Istana Kerajaan Riau Lingga. Di sekitaran halaman anjungan diletakkan patung satwa liar, seperti harimau dan beruang, serta sebuah replika Kilang Minyak sebagai gambaran lingkungan alam. Anjungan ini menampilkan empat buah bangunan adat, yakni balai selasar jatuh tunggal, rumah Melayu atap limas, rumah Melayu atap kajang, dan rumah Melayu atap lontik.
Rumah tradisional daerah Riau pada umumnya rumah panggung persegi panjang di atas tiang. Kecuali rumah lontik, detail berbagai jenis rumah adat hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, maupun susunan ruangannya. Rumah lontik atau rumah pencalang beratap agak runcing melengkung ke atas, dinding miring ke luar dengan hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang. Anak tangga rumah ganjil, bahkan rumah lontik selalu beranak tangga lima.
Bentuk tiangnya ada yang segi empat, segi enam, segi tujuh, segi delapan, dan segi sembilan. Tiang utama (tiang tuo) berdiri di sebelah kiri dan kanan pintu masuk—pada suku Melayu kepulauan, tiang utama dinamai tiang seri, berdiri di keempat sudut rumah—terbuat dari kayu besar dan tidak boleh disambung. Semua detail unsur bangunan mengandung perlambang nilai adat ataupun nilai keislaman.
Ruangan dibagi menjadi tiga bagian: selasar atau serambi, rumah induk, dan dapur. Ada tiga jenis selasar, yakni selasar luar, terpisah dari rumah induk; selasar jatuh, bersambung dengan rumah induk tetapi lantainya lebih rendah; dan selasar dalam, menyatu dengan rumah induk. Rumah induk, meskipun tidak disekat dengan dinding pemisah, dibagi menjadi tiga ruang, yakni ruang muka, ruang tengah, dan ruang dalam. Setiap ruang memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan adat.
Balai selasar jatuh tunggal berbentuk seperti rumah adat, berfungsi sebagai tempat musyawarah atau rapat adat, dan bukan tempat tinggal. Ada bermacam nama selasar, tergantung pada fungsinya. Balai selasar mempunyai serambi keliling, lantainya lebih rendah, dan oleh karena itu disebut selasar jatuh.
Semua bangunan adat diberi hiasan, terutama ukiran. Semakin banyak ukiran pada suatu rumah, semakin tinggi pula status sosial pemiliknya. Ragam hias ukiran kebanyakan berpola tumbuh-tumbuhan dan hewan yang digayakan, masing-masing jenis mempunyai nama tertentu, misalnya ombak-ombak atau lebah bergantung, lambai-lambai, semut beriring, itik pulang petang, kalok paku, pucuk rebung, dan sayap layang-layang. Di puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat ke atas bersilangan, biasanya diberi ukiran salembayung atau sulobuyung. Tiap jenis ukiran mengacu pada lambang atau makna tertentu.
Rumah-rumah adat di anjungan Riau menjadi tempat pameran benda budaya dan seni tradisional. Rumah lontik digunakan sebagai kantor dan perpustakaan, balai selasar jatuh tunggal untuk pameran pakaian adat, termasuk pakaian pengantin. Di kolong rumah atap limas dipamerkan pula jalur atau sampan yang sangat panjang, yang berkait dengan permainan pacu jalur pada upacara adat tertentu, sedangkan di depannya ada ‘buku besar’ berisi syair “Gurindam Duabelas”, mahakarya pujangga Melayu Raja Ali Haji.
Pentas seni seperti tari zapin, ranggam Melayu, dan gozal serta orkes Senandung Riau dilaksanakan pada hari Minggu dan hari libur.
Berbagai tamu negara dan tamu resmi pernah mengunjungi anjungan ini, antara lain Presiden Republik Islam Pakistan beserta Ibu Begum Zia Ulhaq, Kepala Staf Angkatan Udara Amerika Serikat, Kepala Staf Angkatan Darat Kerajaan Jepang, Sultan Malaysia, dan artis-artis negara Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar